Kalau Rumus Fisika Gak Akurat, Selama Ini Kita Ngapain?
Lintang Erlangga - March 19th, 2021
Pernyataan ini pertama kali muncul di benak saya ketika saat kuliah semester-semester awal. Dunia perkuliahan yang menuntut untuk berpikir lebih dalam, membawa seseorang untuk berkata seperti itu.
Dan ya saya gak bohong, seorang maba (mahasiswa baru) yang berkata bahwa, rumus fisika gak semuanya akurat, atau mungkin tidak ada sama sekali. Apakah berarti penemuan seorang ilmuwan tak ada artinya bagi seorang maba? Bukan begitu ya maksudnya.
Daftar Isi
Apakah rumus yang beredar layak?
Mungkin di antara kalian ada yang bertanya, apakah semuanya yang telah kita pelajari tentang fisika sia-sia? Jelas enggak. Tidak akurat bukan berarti rumus-rumus yang mendeskripsikan alam ini tidak bisa dimanfaatkan untuk, misal keperluan engineering, namun justru rumus-rumus ataupun persamaan-persamaan yang sudah kita "anut" selama ini merupakan yang paling layak.
Buktinya apa? Sederhana aja, kalau deskripsi tentang alam yang kita pelajari selama ini gak layak, bagaimana nasibnya produk-produk ciptaan manusia dapat bekerja?
Gawai yang sedang kalian gunakan saat membaca ini dapat berkomunikasi jarak jauh, mobil, motor dapat berjalan dengan baik, manipulator pada industri yang bekerja begitu presisi. Hingga roket yang menghantarkan manusia ke bulan.
Apakah contoh-contoh tersebut sudah cukup untuk mengatakan bahwa deskripsi yang kita punya layak? Coba kalian renungkan. Kalau gak layak mungkin banyak sekali kecelakaan di berita gara-gara sistemnya gagal (jangan sampe deh pokoknya).
Dunia itu kompleks banget!
Proses tercapainya pernyataan saya tersebut, merupakan buah dari opini saya yang awalnya sedang tidak belajar subjek fisika. Melainkan pada saat maba saya sangat tertarik dalam disiplin ilmu computer vision.
Saat itu, yang dipikiran saya adalah bagaiamana suatu citra (kalau orang computer vision bilangnya citra bukan gambar) dapat diolah sehingga kita tahu ada objek apa saja di dalam suatu citra.
Dari situ saya memulai mengenal informasi-informasi apa saja yang bisa dimanfaatkan untuk pengolahan selanjutnya (misal deteksi objek), dan salah satunya warna. Nah warna pada citra itu direpresentasikan menggunakan rentang nilai tertentu, misal dalam citra dengan depth 8 bit, maka 0 merepresentasikan yang paling gelap (hitam), dan 255 merepresentasikan paling terang (putih).
Memang gak ada hubungannya dengan fisika, tapi dari situ saya yakin bahwa dengan dengan depth sebesar 1024 bit pun gak cukup untuk merepresentasikan alam ini.
Bahkan nonlinear gak sanggup
Selain itu, hal yang membuat saya yakin bahwa dunia kompleks banget adalah ketika melakukan pemodelan. Pada suatu sistem, misal seperti balok di bidang miring, tangga yang bersender, hingga yang lebih kompleks seperti pesawat, pemodelan pada sistem tersebut merupakan aproksimasi dari perilaku dari sistem itu sendiri.
Bahkan nonlinear sekalipun saya rasa akan sangat sulit untuk memodelkan perilaku sistem hingga bener-bener serupa.
Tapi yang jadi pertanyaan, apakah perlu memodelkan sistem sehingga bener-bener menyerupai perilaku aslinya?
Tentu tidak, apabila dengan pendekatan linear saja sudah bisa diterapkan dan aman, mengapa cari jalan yang sulit? Dan yang mungkin menjadi salah satu alasan juga adalah, bisa jadi ada beberapa bagian dari perilaku sistem yang dianggap tidak begitu besar pengaruhnya terhadap perilaku sistem secara keseluruhan, alias dapat diabaikan.
Batasan dalam penyimpanan data
Selain perilakunya alam yang kompleks, limitasi akan pemodelan pun muncul akibat terbatasnya sistem pengolah yang kita miliki. Komputer yang berada di ranah digital, berbeda dengan alam yang sifatnya analog (kontinyu).
Tapi dengan adanya komputer 64 bit, kayaknya itu udah cukup banget deh untuk menyimpan data hingga skala nano bahkan piko. Saya sendiri sejauh ini belum pernah ngerjain proyek yang membutuhkan presisi pada skala tersebut. Paling mentok di skala mikro, saat bikin sistem lokalisasi robot.
Apa metric-nya sehingga rumus fisika itu layak?
Sejauh ini yang saya pahami belum ada metric atau satuan ukur yang dipakai untuk menentukan seberapa layak suatu rumus fisika. Alasannya cukup sederhana, satuan ukur tentunya dihitung berdasarkan acuan atau nilai yang menjadi patokan dan dianggap sesuai fakta. Seperti contoh, pada suatu kelas, ada rencana untuk foto bersama di depan ruangan kelas.
Nah guru wali kalian misal ingin mengurutkan dari yang tinggi hingga yang sedang, intinya yang paling tinggi berada di barisan belakang. Memang ini merupakan ukuran kasaran saja, namun yang ingin saya tekankan yaitu bagaimana, tinggi siswa-siswi ditaksir berdasarkan siswa/siswi yang paling tinggi. Kita tidak mungkin mengatakan tinggi seorang siswa mempunyai tingginya sedang jika tidak ada acuannya. Bisa saja dia paling tinggi, karena kebetulan tidak ada yang melebihi dia.
Kuantitatif dan kualitatif
Nah sekarang yang jadi pertanyaan, sampai detik ini apa satuan ukur untuk menaksir apakah rumus fisika layak atau tidak? Sedangkan untuk mendeskripsikan fenomena secara utuhnya saja memang sulit. Jadi selama ini kita mengatakan layaknya dari apa? Sejauh yang saya pahami, salah satunya yakni dengan menggunakan suatu bahasa, tapi bukan bahasa Indonesia, bahasa Inggris, atau yang lainnya, tapi "bahasa" matematika.
Artinya, dengan menggunakan fakta dan kebenaran secara logikalah bagaimana rumus-rumus fisika dikatakan layak. Selain secara matematis, bisa juga dengan usulan berupa gagasan atau ide. Dan contoh nyatanya yaitu kondisi di mana hukum-hukum Newton kurang dapat diandalkan pada suatu objek dengan kecepatan yang mendekati cahaya, yaitu ketika Albert Einstein mengusulkan teori relativitasnya.
Apakah berarti hukum Newton salah? Jelas tidak, hanya saja ada kondisi yang harus dipenuhi apabila ingin hukumnya berlaku. Yakni besar kecepatannya harus jauh di bawah kelajuan cahaya.
Cukup sekian sampai disini dulu tulisan yang didasari isi kepala saya sendiri ini. Saya harap pandangan-pandagan saya ini bisa memicu suatu ide yang bermanfaat buat para pembaca. Terima kasih.